Baca Juga
Percepatan peradaban manusia bisa jadi sangat dipengaruhi dari penggunaan roda. Piranti berbentuk lingkaran itu membantu meringankan pekerjaan manusia. Pada awalnya roda terbuat dari bahan kayu. Roda kayu ini bertahan hingga ratusan tahun, pun demikian pula di tanah Jawa. Lalu kapan roda kayu itu disingkirkan ?
Dulu kita mengenal alat angkutan bernama Cikar. Sebuah gerobak dengan roda kayu dengan lingkaran besar ditarik oleh sepasang sapi atau kerbau. Ada juga cikar berukuran kecil yang hanya ditarik seekor sapi saja. Alat transportasi ini jalannya lamban bila dibandingkan dengan moda transportasi yang dihela kuda. Tetapi cikar bisa mengangkut beban lebih besar.
Untuk meringankan beban tarikan maka roda cikar dibuat pipih. Dengan begitu gesekan permukaan roda dengan tanah bisa diminimalisir. Tetapi ada kerugian dari roda pipih ini karena mudah "kembet" ketika melintas jalanan lunak. Apalagi bila muatan yang dibawa cukup berat.
Roda kayu juga terhitung cepat aus. Belum lagi persoalan roda patah akibat benturan. Demi mengurangi keausan dan menambah kekuatan lalu dipakailah roda berbalut besi. Ban besi ini juga memiliki efek gesekan lebih rendah dibandingkan kayu. Maka roda besi kemudian marak dipakai.
Cikar dikenal sebagai alat angkut beban yang handal walaupun lamban. Semua angkutan barang bertonasi tinggi akan diserahkan pada cikar. Cikarpun berlalu lalang di jalanan untuk melayani kebutuhan niaga.
Pada tahun 1930-an pemerintah kolonial mulai kewalahan mengatasi dampak roda cikar. Pasalnya cikar dianggap sebagai penyebab hancurnya permukaan jalan, terutama jalan yang telah dihaluskan dengan aspal. Roda Cikar yang pipih dan keras itu membuat aspal pecah. Memang bukan hanya roda cikar yang menghancurkan jalan, air hujan yang tergenang juga bisa mempercepat kehancuran jalan. Apa lagi bila kedua penyebab itu dipadu pasti kerusakan akan lebih cepat lagi.
Secara teknis, problem genangan air di jalan bisa diatasi dengan membuat saluran drainase yang baik di sisi jalan. Tetapi roda cikar perlu dicarikan solusi.
Bahkan tentang efek roda cikar telah lama diperbincangkan para ahli transportasi. Pada saat digelar Konggres Jalan atau Wegenconggres pada tahun 1924, masalah roda cikar ini menjadi topik bahasan utama. Panitia telah membuat makalah tentang persoalan roda cikar tersebut. Di contohkan kerusakan jalan akibat roda cikar mengakibatkan percepatan kerusakan 12 kali dari jalan yang tidak dilalui cikar. Demikian pula dengan hasil penelitian di Surabaya yang harus mengeluarkan biaya sebesar 2,5 sen per-meter persegi pertahun. Biaya yang jika diakumulasi hitungannya besar itu dibutuhkan untuk memperbaiki jalan yang diinjak cikar.
Rekomendasi yang dikeluarkan dalam Konggres Jalan adalah dengan mengganti roda cikar. Balutan besi harus diganti dengan ban berbahan karet. Ban karet itu sudah banyak dipakai pada moda transportasi lainnya. Ukuran yang sesuai dengan cikar adalah roda yang digunakan untuk vrachtauto atau truck. Agar sapi penarik tidak terlalu berat menghela maka pada as roda diberi kogellager alais klaker. Jika ingin lebih ringan maka rangka gerobak bisa digantikan dengan rangka besi.
Tahun 1935 pemakaian ban karet pada cikar sudah dimuai di India. Kini giliran tanah Jawa perlu melakukan hal yang sama jika tidak ingin tekor untuk perawatan jalan.
Oke, rekomendasi diterima.... Lalu bagaimana dengan biaya peralihan roda kayu berbalut besi ke ban karet ?.
Seperti biasa cara yang dapat dilakukan secara cepat adalah mendahulukan cikar milik pemerintah. Dilaporkan pada tahun 1938, Kota Surabaya adalah pemerintah daerah pertama yang melaksanakan rekomendasi tersebut. Semua cikar yang dioperasikan untuk angkutan sampah telah berganti roda. Dan setelahnya pemerintah kota Surabaya menyatakan bisa menghemat f.9000 pertahunnya. Hal itu karena sapi penghela bisa menarik beban lebih berat setalah adanya klaker di as roda.
Dengan pengalaman tersebut dijadikan dasar untuk menekan perusahaan swasta agar mengikutinya. Di Mojokerto dimana banyak terdapat pabrik gula, angkutan tebu dengan cikar juga mulai melakukan hal yang sama. Pabrik gula mensyaratkan agar cikar yang digunakan mengganti ban karet bila ingin tetap mendapatkan pekerjaan angkut tebu.
Pemerintah kota Mojokerto sendiri telah melakukan sosialisi penggunaan ban pneumatik atau ban dengan pompa udara pada tahun 1936. Dari hasil perhitungannya untuk membeli perangkat ban berikut gardan ditaksir biayanya f.90. Disebutkan pula bila keuntungan dari hasil pergantian ban bisa menghemat hingga f.15 per-cikar perbulannya. Karena itu pemerintah kota akan memberlakukan peraturan pergantian roda cikar yang melintas di jalanan kota Mojokerto.
Untuk meringankan beban pemilik cikar saat melakukan substitusi roda, pemerintah kolonial menawarkan skema hutang. Biaya yang dibutuhkan bisa dipinjam dari Algemeene Volkscredietbank. Pinjaman bisa diangsur selama 5 tahun dengan bunga pinjaman sebesar 6%. Untuk mendapatkan pinjaman itu juga dibarengi syarat harus adanya perusahaan atau lembaga yang mau menjadi penjamin. Jadi tidak semua orang bisa mengambil pinjaman tersebut.
Pemilik cikar yang tidak bisa mendapatkan jaminan tentu harus membiayai secara mandiri. Seperti layaknya aturan setelah diberlakukan tentu ada sanksinya. Yang tidak Aturan ini memang hanya berlaku untuk cikar saja, sementara ban kayu masih diperbolehkan dipakai untuk dokar.
Demikianlah riwayat singkat pergantian roda cikar menjadi roda berbalut ban di tanah Jawa.
* * * * * * * * *
Sidowangun, 26 Oktober 2021