Baca Juga
Foto: Istimewa
VAKSINASI DI MOJOKERTO
Layanan kesehatan kolonial
------------------------------------------
Persoalan kesehatan selalu menjadi perhatian pemerintah pada setiap jaman, begitupun pada jaman kolonial. Mereka melihat bahwa hidup di daerah katulistiwa mempunyai siklus penyakit epidemik yang selalu berulang. Penyakit seperti malaria, cacar, kholera, pest, dan sejenisnya berulang berjangkit seiring pergantian musim.
Penerapan undang-undang otonomi yang dilakukan pada penghujung abad 20 oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi awal pembangunan infrastruktur kesehatan hingga di daerah-daerah, termasuk di kawasan Mojokerto. Tentu saja fasilitas kesehatan itu diprioritaskan untuk menjaga keselamatan dan kebugaran dari warga Eropa serta kaum priyayi.
Keberadaan fasilitas kesehatan di Mojokerto memang terhitung bagus, namun kondisi tersebut bukan sepenuhnya hasil kerja pemerintah. Fasilitas publik berupa rumah sakit dan poliklinik itu kebanyakan dibangun oleh para pengusaha gula.
Dalam laporannya, Resident Mojokerto, Schnitzler, pada tahun 1931menyebutkan bila sudah tidak ada lagi pandemi penyakit di Mojokerto sejak tahun 1927. Kholera dan cacar yang mudah mewabah saat musim hujan tiba juga sudah tidak seberapa kasus yang terjadi. Lebih lanjut dalam laporan serah terima jabatan atau Memorie Van Overgave itu dia menyebut adanya peran serta dari Eschauzierconcern yang membantu vaksinasi massal melalui jaringan rumah sakit dan poliklinik yang dimilikinya.
Rumah sakit utama milik Taipan Gula di Mojokerto itu adalah Ziekenhuis Gatoel. Rumah itu sempat kewalahan menerima antusias warga yang ingin disuntik dengan vaksin neo-salversan. Vaksin ini diyakini mampu mencegah berbagai virus tahunan yang biasa menjalar. Bahkan neo-salversal pun dipercaya bisa mencegah berjangkitnya penyakit frambusia atau pathek.
Neo-salversan itu sendiri adalah obat suntik yang dikembangkan dan dibuat oleh pabrik asal Jerman. Mulai digunakan pada tahun 1912. Kemungkinan Eschauzierconcern membeli sendiri obat tersebut untuk dipakai di kalangan perusahaannya. Jumlah pegawai dari jaringan pabrik gula itu sendiri memang terhitung banyak jumlahnya maka tak heran jika RS Gatoel kewalahan melayaninya.
Barangkali Residen Snitchzer bangga dengan adanya kegiatan pelayanan vaksinasi itu. Hal itu tidak lepas dari pengalaman saat wabah pest yang pernah melanda Mojokerto pada tahun 1913 dan juga Kholera yang menggila pada kisaran tahun 1926. Dibutuhkan pelayanan dan antisipasi guna mencegah wabah itu kembali terjadi.
Rumah sakit Gatoel direnovasi dan ditingkatkan pelayanannya pada tahun 1930. Setelah renovasi kapasitas rawat inap tercatat ada 60 tempat tidur. Rumah sakit pusat perkebunan gula itu juga memiliki tanah yang luas meski dinilai belum efektif dalam menata peruntukan lahannya. Ruang perawatan khusus berbentuk paviliun disediakan bagi pasien Eropa. Setidaknya ada 10 kamar paviliun di rumah sakit tersebut.
Sebagai rumah sakit pusat, RS. Gatoel menjadi penampuk pasien yang dirujuk oleh poliklinik-poliklinik yang ada di pabrik-pabrik gula milik Eschauzierconcern. Poliklinik yang dibuat dengan bangunan permanen itu didirikan untuk menjamin pelayanan kesehatan para pegawai pabrik. Ada 7 poliklinik yang dibangun dan dikontrol secara bergantian oleh dua orang dokter perusahaan. Jika ada pasien yang tidak dapat ditangani poliklinik akan langsung dirujuk ke RS Gatoel.
Poliklinik itu tersebar di Ketanen Kutorejo, Brangkal Sooko, Dinoyo Jatirejo, Pohjejer Gondang, dan Tangunan Puri. Selain itu ada juga poliklinik Gempolkrep Gedeg yang terletak di Utara Kali Brantas yang merupakan pabrik gula terbesar dalam Eschauzierconcern. Sedangkan pabrik gula Sentanen Lor tidak dibangun poliklinik karena langsung dilayani oleh RS. Gatoel.
Pemerintah kolonial melalui Dinas Kesehatan memiliki sebuah rumah sakit di Kota Mojokerto. Dalam penilaiannya, Snitchzer menyebut rumah sakit pemerintah ini memiliki layanan sangat lengkap. Dengan dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh beberapa perawat, dimana salah satunya perawat Eropa, itu melayani dengan tarif yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Rumah sakit ini juga menjadi rujukan bagi beberapa poliklinik milik pemerintah dan poliklinik swasta. Rumah sakit pemerintah ini nantinya berubah nama menjadi RS. Wahidin Sudirohusodo Kota Mojokerto.
Poliklinik yang dimiliki oleh pemerintah adalah poliklinik Mojosari dan poliklinik Kemlagi. Poliklinik Mojosari dibangun dengan dana partisipasi swasta, kemungkinan pihak swasta itu adalah Pabrik Gula Koning Willem Mojosari. Karena itu poliklinik dibangun tidak jauh dari lokasi berdirinya pabrik gula Mojosari. Karena dipimpin oleh seorang mantri kesehatan pemerintah maka poliklinik Mojosari dianggap sebagai fasilitas kesehatan pemerintah.
Dengan posisi seperti itu, maka poliklinik Mojosari bisa dianggap sebagai poliklinik terbesar di Mojokerto. Poliklinik Mojosari nantinya berubah nama menjadi Puskesmas Mojosari dan pada akhirnya menjadi Rumah Sakit DR. Soekandar.
Poliklinik lain yang ada di Mojokerto salah poliklinik Sedati di Ngoro. Poliklinik ini dibangun oleh Pabrik Gula Sedati. Ada juga poliklinik Perning yang didirikan guna melayani para pegawai Pabrik Gula Perning. Kedua poliklinik tersebut akan merujuk pasien pada rumah sakit pemerintah.
Seumpama tidak ada banyak pabrik gula yang berdiri di Mojokerto, pasti Residen Snitchzer tidak bisa membanggakan pelayanan kesehatan di daerahnya. Itu karena hanya ada sebuah rumah sakit dan satu poliklinik saja yang dibangun dengan anggaran negara.
* * * * * * * * *
Sidowangun, 25 April 2021