Hari itu kalender menunjukkan hari Sabtu, tanggal 26 Agustus 1939. Kota Mojokerto sedang sibuk-sibuknya dengan segala persiapan menghadapi bahaya perang. Banyak orang yang khawatir bahwa api peperangan segera menjalar ke tanah Jawa, termasuk Mojokerto. Ya, kebanyakan dari orang yang khawatir itu golongan Eropa dan China. Ketakutan tidak terlihat pada wajah orang-orang pribumi. Para pribumi justru sibuk melawan kemiskinan dan pengangguran.
Pagi itu 13 orang pemuda Jawa masuk ke stasiun Mojokerto. Selain mereka ada juga beberapa orang yang mengantarkamnya, seperti orang yang hendak bepergian jauh. Terlihat jelas pemuda-pemuda tersebut menenteng bangkelan berisikan pakaian dan juga peralatan yang terbungkus. Mereka memang akan bepergian jauh.
Para pemuda tersebut bukan pemuda biasa karena mereka adalah orang-orang terampil yang telah menjalani pendidikan khusus. Tidak tanggung-tanggung, selama dua tahun digembleng agar menguasai ilmu yang dibutuhkan. Mereka akan dikirim ke tanah asing yang belum mereka kenal sebelumnya. Seperti seorang pendekar yang dikirim guna mendadar ilmu kesaktian.
Ketigabelas pemuda asal Mojokerto itu baru tahu jika akan dikirim ke Banyuwangi. Tanah yang biasa mereka kenal sebagai Blambangan. Banyuwangi dikenal betul sebagai bagian dari kisah Damarwulan, pemuda desa yang menjelma jadi raja. Maka para pemuda itu merasa dirinya adalah Damarwulan-Damarwulan jaman kolonial. Dalam hati mereka juga sadar bila tugas ke Banyuwangi itu tidaklah mudah. Layaknya Damarwulan yang pergi ke Blambangan tanpa mengenal apa dan bagaimana di tempat asing itu nantinya.
Para pemuda itu adalah korban keadaan. Mereka bagian dari sekian banyak anak muda yang tidak memiliki pekerjaan. Resesi tahun 1930 efeknya terus terasa hingga saat mereka membutuhkan penghasilan. Tahun 1936 para pemuda pengangguran itu tertarik ikut program yang ditawarkan oleh Komite Pemberantasan Pengangguran Pribumi yang membuka akses pelatihan bagi para pencari kerja. Jaman resesi yang kerap dinamakan jaman malaise, orang Jawa menyebutnya sebagai jaman meleset.
Banyak anak muda yang tertarik mendaftar, maklum ada janji bila mereka lulus akan diberi tanah dan juga modal usaha. Dijaman susah saat itu tawaran tersebut seolah menjadi jalan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dari puluhan pemuda pengangguran tersebut tidak semuanya bisa diterima. Panitia pendaftaran yang dipimpin oleh Eiland Djojodihardjo ketat menseleksi para pendaftar. Selain minat kerja, mereka juga diseleksi fisiknya. Cuma pemuda yang tangguh tenaga dan kuat mentalnya yang lolos penjaringan. Eiland Djojodihardjo menetapkan kriteria semacam itu sebab pemuda itu akan dilatih mengolah tanah dan bercocok tanam.
Begitulah muasal ketigabelas pemuda yang digelari puda terampil tersebut. Mereka terampil dalam budidaya tanaman. Dua tahun itu sebagian ada yang putus tengah jalan hingga tersisa hanya tigabelas orang saja. Semalam, hari Jum'at sebelum berangkat mereka diwisuda. Kegiatan perayaan kelulusan dilaksanakan di Honosarojo, gedung pertemuan milik pribumi yang berlokasi di Jl. Kabupaten, sekarang Jl. A. Yani. Sementara pada waktu yang sama, di tempat yang tidak berjauhan, orang-orang Eropa yang dimotori Indo Europesche Verbond (IEV) sedang menggelar pertemuan membahas penanganan serangan udara atau Luchtbescherming.
Perayaan kelulusan berlangsung hingga malam. Ada sambutan dari Komite Penanggulangan Pengangguran namun tidak ada pidato dari para pejabat pemerintah kabupaten. Para pejabat pemerintah tentunya sedang ada pada gedung lainnya menemani orang-orang kulit putih dan orang China yang khawatir terkena bom udara. Para pemuda itu tidak peduli ada atau tidaknya pejabat di tengah perayaan mereka. Perayaan yang juga menjadi malam pelepasan.
Dan ketika sirine kereta api terdengar, itu berarti panggilan bagi mereka agar segera berpamitan pada kerabat yang mengantarkan. Ada tangis haru dan air mata diantara ketidak pastian nasib para pemuda tersebut. Mereka hanya diberitahu bahwa mereka harus membuka hutan. Lokasi hutan itu ada di dekat reruntuhan istana Raja Tawangalun. Tanah keramat dan bisa jadi hutannya juga keramat.
Secara umum mereka adalah orang yang datang dari kalangan bawah. Bisa jadi mereka tidak pernah pergi jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan mungkin pergi naik kereta juga baru saat itu mereka alami. Jelas mereka orang yang tidak tahu situasi dan kondisi tanah yang bakal mereka diami nanti.
Kecemasan dan ketidak pastian yang ada dalam bayangan harus dihilangkan. Mereka telah teken kontrak dengan pemerintah kolonial. Berbagai kebutuhan peralatan, makan dan uang saku juga telah terlanjur diterima. Tidak ada lagi kata mundur. Mereka adalah pejuang yang ingin memperbaiki taraf hidup, apapun resikonya.
Kereta api berjalan ke Surabaya dan nanti mereka harus berganti kereta untuk membawa ke Banyuwangi. Di belakang, Mojokerto tertinggal bersama asap hitam kereta berbahan bakar bakar arang stengkul yang menghela gerbong menuju tanah baru. Ikut tertinggal pula segala kenangan pada tanah kelahiran. Selamat tinggal Mojokerto
Bagaimana nasib para pemuda tersebut ?. Sanggupkah mereka menaklukkan Balmbangan seperti Damarwulan ?
GAMBAR : Sekedar ilustrasi semata.